Sabtu, Agustus 09, 2008

Tuhan menegur melalui sebuah perkara kecil

Suatu hari ketika kami sekeluarga sedang bepergian, kami melalui sebuah jalan yang cukup padat. Tidak hanya padat oleh kendaraan bermotor tetapi juga oleh orang-orang yang berlalu lalang. Sudah menjadi suatu pemandangan yang lazim di negeri ini, terutama daerah pinggiran, kendaraan umum, kendaraan roda dua, ojek, dan orang berlalu lalang tanpa memperhatikan rambu-rambu yang ada.

Kami sampai disebuah traffic light. Kami berhenti ketika lampu menyala merah. Kami tidak menunggu terlalu lama karena lampu traffic light tersebut kemudian menyala hijau. Namun yang terjadi kemudian, laju kami kembali terhenti karena ada beberapa orang melintas didepan kendaraan kami walau saat itu lampu sudah menyala hijau dan seharusnya penyeberang jalan menunggu sebentar sampai lampu kembali menyala merah. Saya tidak kesal, namun dengan gaya bercanda saya berbicara kepada anak saya, masih kelas 6 SD, yang duduk disebelah saya. Saya berkata begini ; “ Ci .. (kami biasa memanggilnya Ci, dari kata Cici, karena dia anak kami yang paling besar), lihat tuh, orang-orang yang nyebrang itu pasti tidak lulus SD”. Anak saya bertanya kepada saya dengan nada dan wajah heran, “Kok papa tahu ?”. Saya menjawab “soalnya mereka menyebarang jalan ketika lampu menyala hijau, seharusnyakan ngga begitu”, kata saya demikian. Kemudian saya melanjutkan “Kan anak-anak SD sudah diajarin kalau nyebrang jalan tunggu lampu merah, bukan lagi hijau”. Anak saya diam saja dan kembali mengarahkan wajahnya kedepan.

Beberapa waktu kemudian liburanpun tiba. Kami sekeluarga pergi berlibur ke Kota Bandung selama beberapa hari. Seperti biasa ketika orang berkunjung ke Bandung, kalau tidak cari makanan yang pasti larinya ke Factory Outlet atau lebih ngetop disebut FO.

Ketika kami mau berpindah dari satu FO ke FO lainnya, kami melintasi sebuah jalan. Kedua FO tersebut letaknya berseberangan jalan disebuah per-empat-an jalan di kawasan jalan Riau. Disana ada traffic light. Siang itu saya dan anak saya (kebetulan sedang dengan anak saya yang besar, si Cici itu tadi) hendak berpindah FO dan hendak melintas jalan. Saat itu jalan yang harus kami lintasi dalam keadaan sangat kosong, tidak ada satu kendaraanpun dari kedua lajur yang memang sudah ada jalur hijau ditengahnya itu. Traffic light dalam keadaan hijau. Karena sama sekali tidak ada kendaraan, maka kami melintas. Baru dua langkah kami melangkah, tiba-tiba dari belakang saya ada seseorang yang memanggil saya, “Pak … Pak …!!!”. Saya menoleh untuk melihat siapa yang memanggil saya, rupanya seorang pedagang dipinggir jalan tersebut. Dia langsung berkata “Nyebrangnya nanti tunggu merah .. !!”.

Saat itu saya langsung teringat dengan kata-kata yang pernah saya ucapkan dengan gaya bercanda kepada anak saya seperti yang saya ceritakan diatas tadi. Saat itu saya merasa mendapat teguran dari Tuhan yang langsung mengenai sasaran. Tuhan menegur saya lewat orang kecil pinggiran jalan, pedagang pinggir jalan yang mungkin tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Walau dengan gaya bercanda, nyatanya saya telah menghakimi orang dengan mengatakan bahwa orang tersebut tidak lulus SD hanya karena menyeberang jalan saat lampu hijau dan sekarang saya melakukan hal yang sama.

Tuhan Guru yang maha sempurna

Apa yang saya rasakan kemudian menjadi sangat jelas. Tuhan memberikan suatu pelajaran berharga bagi saya agar saya menjadi semakin dimurnikan hari demi hari. Tanpa sadar, walau dengan gaya bercanda, sering keluar dari mulut kita ucapan-ucapan yang ternyata bersifat penghakiman atas orang lain. Walau dengan gaya bercanda pula, seringkali ucapan-ucapan kita ternyata membuat orang lain terluka dan membekas perih didalam hati seseorang. Rasul Yakobus dalam suratnya mengatakan “Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi” (Yak 3 : 9 – 10).

Saya bersyukur memiliki Tuhan yang begitu baik, yang tidak pernah membiarkan kita jatuh lebih dalam kedalam lumpur dosa. Bayangkan … kalau saja siang itu Tuhan Bapa kita tidak menegur saya lewat pedagang kecil pinggir jalan, saya tidak pernah tahu kalau ucapan saya itu ternyata hanya sebuah ungkapan kesombongan bahwa saya adalah orang yang paling benar. Surat Yakobus ini pernah beberapa kali saya pakai sebagai bahan renungan didalam pertemuan sel. Melalui peristiwa ini, melalui teguran Tuhan, maka Firman Tuhan melalui Rasul Yakobus tidak hanya berhenti dikepala sebagai hafalan belaka tetapi kemudian akan benar-benar melekat dihati.

Ya .. melalui peristiwa ini, Tuhan memberi pelajaran bahwa tidak ada hal sepele didunia ini selama kita mau melihatnya sebagai sebuah karya Tuhan dalam merenda hidup kita untuk menjadi semakin dimurnikan setiap hari. Sepertinya ini hanya sebuah perkara kecil, ya .. tetapi kalau dibiarkan akan menjadi sebuah benih unggul yang akan menjadi pohon kesombongan yang sangat rindang.

Terima kasih Bapa. Aku bersyukur boleh mengenal Engkau Guru yang maha sempurna. Amin.