Senin, April 13, 2009

Paskah : Pembalikan Cara Berfikir


Paskah 2009 telah kita rayakan bersama-sama minggu lalu. Perjalanan pertobatan kita dengan segala bentuk pantang dan puasa seolah telah paripurna dengan merayakan Misa selama Pekan Suci, khususnya Tri Hari Suci di Gereja. Kita akan memulai hidup yang baru setelah Paskah. Hidup yang baru ? Ya … sebagian mungkin akan merasa setelah menjalani masa Prapaskah dan Paskah itu sendiri serasa segala beban telah berlalu. ‘Sengsara’ dalam bentuk pantang dan puasa selama menjalani ‘kewajiban’ proses pertobatan telah selesai dilakukan dan sekarang sudah kembali bebas, tidak perlu lagi pantang, tidak perlu lagi puasa, tidak perlu lagi jalan salib. Sekarang kembali menjadi manusia bebas.

Benarkah demikian ? Ya .. kalau kita hanya menganggap Paskah adalah pesta rutin tahunan yang dilakukan oleh Gereja atau sekedar agenda ritual orang Katolik yang dilakukan setiap tahun, maka Paskah tidak mempunyai makna apa-apa. Padahal, menurut Santo Paulus, jika Kristus tidak bangkit, maka sia-sialah kepercayaan kita dan kita masih hidup didalam dosa kita (bdk 1 Kor 15 : 17). Santo Agustinus mengatakan bahwa Paskah adalah pesta segala pesta. Dari sinilah sebenarnya iman kita bersumber, maka sayang sekali kalau Pesta Paskah berlalu begitu saja tanpa makna apa-apa bagi kita.

Pembalikan Cara Berfikir

Dalam suatu kesempatan pengajaran diberikan oleh Romo Robby Wowor, OFM saya mendapat satu hal baru mengenai makna pertobatan yang akan saya coba bagikan didalam tulisan singkat ini. Romo Robby mengatakan bahwa pertobatan adalah sebuah proses pembalikan cara berfikir. Bagi saya, pernyataan ‘pembalikan cara berfikir’ memiliki makna yang sangat dalam sekali. Pertobatan bukan sekedar mengubah kebiasaan berperilaku, misalnya : orang yang tadinya suka berbohong menjadi tidak berbohong lagi, suka mencuri – berhenti mencuri dll. Berperilaku dosa, mencuri, berbohong dll, hanyalah kulit luar dari sebuah cara berfikir dan beriman yang salah. Orang berbohong karena takut kesalahannya diketahui orang atau takut dituntut untuk bertanggung jawab. Maka proses pertobatannya adalah ‘orang harus berani bertanggung jawab’, ini adalah pembalikan cara berfikir dari tidak mau bertanggung jawab menjadi berani memikul tanggung jawab. Jika proses seperti ini terus menerus dilakukan, maka akumulasi dari serangkaian tindakan bertanggung jawab ini akan menjadi sebuah kebiasaan baik atau habitus yang baik dan ini akan membentuk kepribadian seseorang.

Berfikir atau penggunaan akal budi ini telah menjadi masalah serius sejak jaman Para rasul dahulu. Nampaknya manusia lebih mengandalkan akal budinya dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupannya dibandingkan dengan mengandalkan Allah. Segala sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh akal sehat, maka dianggap tidak benar. Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma bahkan mengatakan bahwa untuk berubah seseorang harus terlebih dahulu melakukan pembaharuan budi (bdk Rm 12 : 2). Begitu juga dengan Santo Petrus dalam suratnya yang pertama meminta agar jemaat mempersiapkan akal budi, waspada dan meletakkan pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia …… (bdk 1 Ptr 1 : 13). Rupanya manusia lebih senang ‘menggunakan iman menurut terang akal budi’ daripada ‘menggunakan akal budi menurut terang iman’.

Semakin serupa dengan Allah

Pastor Bernard Haring, CSsR, seorang teolog pembaru teologi moral Katolik membawa kita lebih dalam lagi, bahwa jangan sekedar bertanya “Apa yang harus manusia perbuat?” melainkan lebih dari itu, ia bertanya, “Manusia harus menjadi seperti apa?”, atau lebih tepat lagi, “Manusia seperti apa yang Tuhan kehendaki dalam menciptakan saya?”. Moralitas kristiani, lanjut Pastor Bernard, adalah tindakan seseorang karena hubungannya yang personal dengan Kristus sendiri. Memang untuk mengetahui atau mengidentifikasi apakah sesuatu itu karya Roh Kudus atau bukan memang bukan perkara mudah.

Dalam suatu kesempatan retreat pengajar KTM di Lembah Karmel 30 Mei s/d 01 Juni 2008 yang lalu, saya menangkap satu pernyataan Sr. Skolastika, P.Karm ketika memberikan pengajaran tentang Kontemplasi, seperti ini “Semakin kita masuk dalam keheningan, semakin kita masuk dalam kontemplasi, maka kita semakin hadir didunia”. Kalimat ini begitu berkesan bagi saya dan terus menjadi bahan permenungan pribadi saya. Bagaimana tidak, selama ini kalau saya mendengar pengajaran tentang keheningan, hal yang selalu didapat ialah bahwa kita akan semakin peka mendengar kehendak Tuhan. Semakin kita mampu meng-hening-kan diri kita, maka semakin mampu kita mendengar suara Tuhan. Lalu apa yang selanjutnya yang akan kita lakukan ?

Lanjut Sr. Sko, “Semakin kita masuk ke kedalaman hati kita, disanalah kita akan bertemu dengan Tuhan. Ketika kita bertemu dengan Tuhan, maka hati kita akan menjadi selaras dengan hati Tuhan. Dengan demikian hati kita akan penuh dengan CINTA. Kita akan semakin ingin berbuat baik, malakukan karya-karya kasih karena HATI TUHAN selalu tertuju kepada dunia dan selalu ingin memberikan yang terbaik bagi manusia”. Disinilah saya menangkap maksud semakin hadir didunia. Pernyataan ini menurut saya sangat sesuai dengan maksud Pastor Bernard diatas bahwa kita harus menjadi manusia seperti apa yang Tuhan kehendaki dalam menciptakan saya.

Kesimpulan

Paskah adalah saat kita memperingati kebangkitan Tuhan kita Yesus kristus dari kematian. Kebangkitan Kristus memberi kekuatan dan kepastian kepada kita bahwa DIA yang kita imani telah berhasil mengalahkan maut dan dosa.

Namun demikian, Paskah akan benar-benar bermakna bagi hidup kita jika kita juga mau untuk berubah dengan cara membalik cara berfikir kita yang selama ini yang hanya berpusat pada diri dan kepentingan sendiri, menjadi semakin serupa dengan Allah dengan tetap menjalin komunikasi dengan Allah melalui doa-doa kita dan tetap hadir didunia menjadi kepanjangan tangan Allah.

Selamat Paskah 2009 – Tuhan Memberkati. Amin